
Plus Minus Seorang Presiden
Perspektif Online
16 September 2008
Tiap orang punya plus dan minus. Menarik metafor yang jauh kedalam dunia usaha, kita tahu tiap perusahaan punya modal dan hutang. Tidak mungkin perusahaan bisa menjadi besar tanpa menggunakan sejumlah hutang. Karena itu kalau kita ingin tahu kuat tidaknya suatu perusahaan, yang cepat diketahui orang adalah harta yang kelihatan. Sedangkan harta adalah sama besar dengan modal plus hutang. Bisa saja perusahaan punya gedung mewah bertingkat, ruang kantor nyaman, mobil dinas mentereng, pabrik besar. Belum tentu perusahaan itu kuat. Harus lihat, berapa modalnya, berapa hutangnya. Dari situ bisa dihitung Net Worth atau nilai bersih perusahaan.
Apakah hutang itu jelek? Sama sekali tidak. Pertama, harus dilihat berapa besar hutang itu sebagai bagian dari harta. Wah, jadi semangat bahas analisa finansial nih. Tapi kita tidak akan bermetafor sejauh itu. Cukup yang penting-penting saja. Selama hutang itu tidak menjadi bagian yang terlalu besar dari harta, maka hutang itu tidak apa-apa, justru bagus sebab memungkinkan perusahaan menjadi lebih besar dari modalnya. Misalnya kalau kita lihat bank, modalnya pasti dibawah 8%, kewajibannya (liabilities) atau hutangnya 92%. Tapi lancar-lancar saja selama tidak sekonyong-konyong semua nasabah menarik uangnya. Ya ndak ada dong, karena sebagian terbesar uang banyak sedang dipakai proyek-proyek mulai dari perdagangan sampai pada investasi jangka panjang.
Yang penting juga adalah, bagaimana kualitas hutang itu. Apakah kita berhutang pada pihak yang baik-baik, atau kepada orang yang tidak jelas. Karena pihak yang meminjamkan uang kepada kita akan sedikit banyak menentukan perilaku kita juga. Berhutang pada bank beda dengan berhutang pada lintah darat.
Seorang pejabat akan punya plus dan minus. Pada dasarnya mutu seorang pejabat ditentukan oleh modalnya. Faisal Basri orang baik, modalnya jelas kuat dan bagus. Tapi untuk menjadi Gubernur DKI, tidak bisa dia hanya mengandalkan modal awal. Dia harus mengambil hutang dan memperbesar modal. Begitu juga semua kandidat politik. Barack Obama waktu mulai kampanye tidak terlalu kaya. Bagi ukuran kita lumayan lah, tapi dibandingkan dengan orang Amerika lain, dia tidak lebih kaya dari Faisal Basri dibandingkan orang Indonesia lain. Tapi begitu dia mulai kampanye, modal asli Obama ditambah dengan pinjaman untuk dana operasi, dan hutang itu disusul dengan tambahan modal. Sekarang Obama punya dana kampanye sangat besar, tapi dia tidak harus berubah karakter karena hutangnya dipilih, baik besarnya maupun kualitasnya.
Faisal Basri tidak berhasil menjadi Gubernur DKI karena tidak cukup banyak orang mau menambah dana operasinya, mungkin karena tidak banyak pemilik uang yang mempunyai nilai-nilai serupa dengan nilai-nilai Faisal Basri. Uang di Indonesia tidak dikuasai oleh orang baik. Setiap orang kaya di Indonesia mempunyai struktur plus dan minus yang beda dengan orang baik-baik.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah orang baik. Modal aslinya bagus. Tapi begitu dia menjadi tokoh besar, malah menjadi pejabat tertinggi di Indonesia, struktur modalnya menjadi tidak jelas. Kelihatannya beliau merasa berhutang pada pihak-pihak yang mendukung beliau, lepas dari baik buruknya pihak pendukung itu. Bahkan pendukung asli SBY yang sejalan dengan pikiran asli beliau banyak yang tergeser Padahal modal SBY terbesar adalah mandat kuat dari hasil Pemilihan Presiden 2004, yang membuat SBY menjadi orang yang meraih suara langsung terbanyak dalam sejarah dunia. Dengan jumlah suara jauh diatas semua saingannya dalam Pemilihan Presiden 2004, SBY tidak perlu terpengaruh oleh orang yang mendompleng pada kekuasaannya, apakah itu politisi, pejabat kabinet atau orang bisnis, apalagi orang yang merangkap ketiganya itu.
Dinilai secara obyektif, SBY punya banyak plus dalam dirinya. Karena itu dia bisa punya karir yang cukup baik dan reputasi positif. Tapi sejak menjadi Presiden, plus beliau tidak bertambah, malah minus jadi banyak. Yang paling mengecewakan adalah kelemahan beliau dalam mengambil keputusan. Kemudian kalaupun mengambil keputusan, seringkali keputusannya salah.
Seorang Presiden tidak bisa dipersalahkan seratus persen untuk pengambilan keputusannya, kecuali olah orang yang secara sengaja mencari titik lemahnya. Karena Presiden tidak bekerja sendiri, tapi dibantu oleh staf. Mutu seorang Presiden tergantung stafnya, tergantung Wakil Presiden, tergantung Menteri Koordinator, tergantung kabinetnya. Semuanya pilihan Presiden sendiri, jadi ujung-ujungnya memang SBY bertanggung jawab. Tapi dalam pelaksanaan sehari-hari kita bisa melihat plus dan minus Presiden tergantung pada penasehat dan pelaksananya yang menangani berbagai bidang tanggung jawab pemerintah.
Dalam kebijaksanaan ekonomi, tidak ada kesalahan Presiden. Banyak kekurangan dalam pelaksanaan, banyak penyimpangan. Tapi policy dasar ekonomi pemerintah cukup baik, dan kebanyakan kritik emosional tidak didukung pengetahuan dan informasi yang kuat. Kalau kita lihat dua pejabat yang bertanggung jawab untuk perumusan kebijaksanaan ekonomi, maka tidak heran bahwa pengambilan keputusan di bidang ekonomi tidak terlalu jelek. Beda dengan keadaan sebelum reshuffle dimana Menteri Koordinator bidang Ekonomi bukan ahli ekonomi dan banyak keterlibatannya dalam bisnis pribadinya.
Dalam kebijaksanaan lain, kepresidenan SBY mengandung banyak plus minus. Jenis keputusan yang paling mengecewakan adalah yang dilakukannya secara kurang cermat, Aneh, SBY yang sangat hati-hati justru sangat ceroboh dalam memutuskan untuk mendukung penipuan seperti Blue Energy dan beras Supertoy. Kelihatannya kecil, tapi kedua hoax atau penipuan ini mendefisikan citra SBY di luar negeri. Pers asing yang sudah lama kurang memperhatikan Indonesia membuat telepon berdering-berdering minta pendapat tentang sikap SBY tentang skandal Blue Energy dan Supertoy.
Susah menjawab mengenai kekhilafan Presiden, kalau Presiden sendiri tidak memberikan keterangan yang jelas. Dalam hal ini SBY dan pemerintah mengambil sikap diam. Ini sangat tidak menguntungkan kepemimpinan Presiden. Kalau orang berbuat salah, paling bagus adalah mengakui kesalahan itu dan melakukan langkah koreksi. Orang akan respek terhadap orang yang khilaf selama dia menunjukkan kemampuan mengatasi kekhilafan itu. It is not how you make mistakes, but how you recover from your mistakes.
Tanpa kesadaran itu dan tanpa staf yang punya komitmen terhadap perbaikan dengan mengenyampingkan kepentingan diri, modal Plus SBY akan lebih tenggelam oleh Minus yang muncul terus menerus.
61 Comments: