Oh, Jangan Tambah Parah
Gatra
27 September 1997
Rano Karno, Wimar Witoelar, Paramitha Rusady, Desy Anwar, dan Sony Tulung terpilih menjadi primadona televisi.
Hasrat di hati mencapai bintang yang tinggiSungguh kecewa tak tercapai cita-cita
Oh, oh, hatiku rasa pilu
Aduhai terasa pilu....
LAGU Melayu, Kecewa, dari Juhana Sattar awal 1960-an, mengalun pada pengumuman Panasonic Award di Balai Sidang Jakarta, Jumat malam pekan lalu. Uniknya, lagu yang menjadi judul album Iis Dahlia keluaran tahun ini pada malam itu tampil bagai three in one. Tiga penyanyi berbeda rasa -Iis Dahlia dengan dangdutnya, pop-rock dari Atiek C.B., dan irama seriosanya Aning Katamsi- mengkanonkannya sahut-bersahut. Aromanya enak, meski terdengar "campur-baur". Itukah gambaran karakter pemirsa televisi di Indonesia?
Disebut demikian, karena mereka yang terpilih menjadi Primadona Televisi (dan Televisi Primadona) yang diselenggarakan Tabloid Citra, bekerja sama dengan Panasonic Gobel dan Indosiar, tersebut tampak beragam. Misalnya, acara yang serius, seperti "Buah Bibir" (RCTI) memenangkan kategori Bincang-Bincang Favorit mengalahkan "Dunia Bintang" (SCTV) yang lebih santai. Sebaliknya, Rano Karno adalah Sutradara Drama Favorit yang komunikatif dalam Si Doel Anak Sekolahan (RCTI) mengalahkan Garin Nugroho (Angin Rumput Savana -TPI) yang serius.
Lalu, Wimar Witoelar dalam "Selayang Pandang" (Indosiar) yang santai tapi serius-mirip dengan lagu pop-rock- terpilih sebagai Pembawa Acara Bincang-Bincang Favorit, mengalahkan Anton Indracahya dalam "Tirai" (AN-teve) yang seserius lagu seriosa. Uniknya, Paramitha Rusady yang penuh duka ala film India dalam sinetron Janjiku -mirip dengan lagu dangdut- terpilih sebagai Bintang Televisi Favorit, mengalahkan Rano Karno yang lebih realistis.
Berbeda dengan Festival Sinetron Indonesia (FSI) yang ditentukan sekumpulan juri, Panasonic Award adalah hasil angket pembaca dari 11 media cetak Grup Gramedia -yang menjaring 171.595 pembaca dari berbagai kota. Anda tak perlu curiga, karena setiap pembaca hanya boleh mengirimkan satu paket untuk 36 kategori. Ibarat pemilihan umum, benar-benar "jurdil" dan "luber".
Tak mengherankan jika pakar komunikasi, Bachtiar Aly, mengakui bahwa hasil angket itu telah mengungkap karakter dan selera pemirsa televisi. Terlepas dari metodologi atau validitasnya, angket itu bisa dianggap sebagai alternatif dari penelitian lembaga semacam SRI. Bachtiar berkata demikian karena -bicara soal mutu tayangan televisi- belum tentu tayangan favorit adalah suatu karya orisinal. Ia mencontohkan, sinetron Janjiku yang menjadi film drama favorit telah diilhami nuansa keindiaan versi Indonesia.
Hal semacam itu tentu bisa berdampak sosiologis dan psikologis. Film-film bertema dendam dan kesedihan, misalnya, akan menjadi pelarian bagi pemirsa, apalagi mereka merasa teridentifikasikan pula. Mereka yang sudah menderita hidupnya akan merasa belum apa-apa karena masih ada yang lebih menderita lagi -sebutlah semacam menghibur diri. "Harusnya, ada tayangan yang mendorong orang mengejar harapan," kata Bachtiar.
Jika optimisme semacam itu tak dibangkitkan, maka selera pemirsa akan tetap cengeng, dan latah. Bachtiar menunjuk, bila ada sinetron yang laku, produser beramai-ramai membuat film seperti itu sehingga pemirsa menjadi labil. Celakanya, para produser film tak pernah menanyakan apa yang menjadi keinginan pemirsa. Akibatnya, pemirsa tak mempunyai pilihan karena produser selalu menjadi penentu selera pemirsa.
Wimar Witoelar bahkan melihat, pilihan pemirsa bukan parameter kecerdasan, melainkan lebih pada unsur rasa senang saja. Ia berlogika, toh televisi adalah media hiburan dan informasi. "Barangkali mereka senang pada saya," kata Wimar kepada Gatra. Meski diakuinya, pilihan itu hanya datang dari sekitar 170.000 pemirsa, bukan dari 200 juta penduduk Indonesia.
Bagaimanapun, Wimar melihat televisi itu dimulai dari hiburan. Meskipun ia menganggap hiburan itu beraneka ragam. Ada pemirsa yang terhibur karena tontonan kambing berkepala dua. Ada yang terhibur karena dialog-dialognya yang cerdas. Sebaliknya, ada pula yang suka melihat film perang, atau cuma menonton dialog dua aktor sepanjang film. "Jadi, hiburan itu macam-macam," katanya.
Di akhir acara, Menteri Penerangan R. Hartono, dalam sambutannya, meminta agar insan pertelevisian mencoba memadukan pilihan pribadi dengan pilihan kalangan yang lebih luas. Artinya, apa pun yang ditayangkan televisi jangan sampai membuat khalayak pemirsa kecewa. Jangan sampai lirik lagu Iis Dahlia itu dipelesetkan jadi: Oh, oh, luka TV-ku ini, TV-ku bertambah parah....
Bersihar Lubis dan Andi Zulfikar Anwar
5 Comments: